Hari Minggu Biasa XXV:
(22 September 2019)
P. Vinsensius, Pr.
Sahabat adalah
harta yang paling berharga, bahkan melebihi harta yang sifatnya material
belaka. Ketika kita mengalami kesusahan, kita pasti akan datang kepada sahabat
kita, untuk curhat dan meminta pendapatnya serta masukkannya bagi kita dalam
menghadapi masalah tersebut. Segala harta milik kita tidak berarti sama sekali,
jika kita tidak memiliki sahabat. Sahabatlah yang dapat menolong kita, ketika
kita menghadapi segala permasalahan hidup, dan bukan semata-mata harta dunaiwi.
Sahabatlah satu-satunya yang dapat menolong kita, ketika harta duniawi tidak
lagi dapat membantu kita dalam mengatasi permasalahan hidup.
Hal yang serupa
terjadi dengan bendahara yang tidak jujur dalam Bacaan Injil tadi. Bendahara ini
akan dipecat oleh tuannya kerena ia telah menghamburkan harta milik tuannya. Menghadapi
permasalahan ini, bendahara ini pun berpikir, bukan bagaimana caranya agar ia tidak dipecat,
karena sudah jelas kesalahannya dan dia pasti akan dipecat, tetapi ia berpikir
bagaimana cara supaya ada orang yang mau menampung dia di rumahnya ketika ia
dipecat oleh tuannya. Artinya, ia mencari seorang sahabat yang bisa menolong
dia dalam menghadapi permasalahan ini.
Karena pada
dasarnya bendahara ini tidak jujur, maka solusi yang ia lakukan juga tidak
jujur. Ia membuat surat hutang palsu bagi para pelanggannya, yaitu dengan mengurangi
jumlah hutang mereka. Hutang yang awalnya 100 tempayan minyak dikuranginya
menjadi 50 tempayan, dan seterusnya. Semua hutang pelanggan itu dikuranginya. Hal
ini tentu saja membuat para pelanggan menjadi senang kepadanya, dan menganggap
dia “baik”. Mereka tidak tahu kalau
semua ini hanyalah modus, agar mereka simpatik terhadap dia. Bendahara yang
tidak jujur ini berusaha menjalin persahabatan dengan para pelanggannya dengan
cara yang tidak jujur pula. Tujuannya hanya satu, yaitu supaya kelak kalau dia
dipecat oleh tuannya, mereka mau menerima dia di rumahnya, dan memberikan
pekerjaan baru kepadanya.
Perumpamaan yang
diberikan Yesus ini sama sekali tidak bermaksud supaya kita meniru perbuatan
curang dari bendahara yang tidak jujur ini. Tetapi kita dapat belajar dari
kesalahan bendahara ini: betapa berharganya sebuah persahabatan. Persahabatan yang
sejati tidak dapat dibeli dengan harta apapun. Bahkan ketika harta tidak dapat
lagi menolong kita, sahabatlah satu-satunya orang yang dapat menolong dan
membantu kita.
Pertanyaannya: “Bagaimana
persahabatan yang sejati itu?” Persahabatan yang sejati adalah persahabatan yang
tulus dan bukan karena modus, seperti bendahara yang tidak jujur ini. Seorang
sahabat yang tulus tidak mencari keuntungan diri sendiri, tetapi selalu berusaha
memberikan yang terbaik bagi sahabatnya. Persahabatan yang sejati adalah
persahabatan yang jujur. Seorang sahabat tidak menutup-nutupi kelemahan dan
kesalahannya di depan sahabatnya atau berbohong demi kebaikannya sendiri,
melainkan jujur dan terbuka untuk menceritakan segala kelemahan, kesalahan, dan
permasalahannya, sehingga mereka dapat saling memahami dan membantu.
Persahabatan yang sejati inilah yang dapat
menghantar kita ke dalam “kemah abadi”, yaitu Kerajaan Allah di surga. Maka,
marilah kita mengikat persahabatan yang sejati dengan Tuhan dan sesama. Yesus telah
menyebut kita sahabat, karena Ia telah memberitahukan kepada kita segala
sesuatu yang Ia dengar dari Bapa (bdk. Yoh. 15:15). Maka, kita juga harus
menjadikan Yesus sebagai sahabat sejati dalam hidup kita. Mari kita datang kepada-Nya
setiap hari di dalam doa, dan mendengarkan sabda-Nya, dengan setia membaca dan
merenungkan Kitab Suci setiap hari. Melalui persahabatan yang sejati dengan Tuhan
dan sesama, kita akan memperoleh keselamatan yang berasal dari Tuhan.
No comments:
Post a Comment