(Hari Minggu Biasa XVIII: 4 Agustus 2019)
Pastor Vinsensius, Pr.
Saudara-saudari terkasih, dalam kehidupan ini banyak orang yang berlomba-lomba untuk
mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta duniawi. Harta itu bisa berasal dari
usahanya sendiri, maupun berasal dari warisan orang tuanya. Karena nafsu akan
kekayaan dunaiwi yang begitu besar ini, maka tak jarang terjadi perselisihan
antar saudara kandung dalam sebuah keluarga, dan bahkan bisa menjadi sumber
keretakan dan kehancuran dalam keluarga. Semua itu hanya gara-gara ketamakan
diri, dan mengabaikan kebaikan bersama. Maka, Injil yang barusan kita dengarkan
tadi menjadi inspirasi bagi kita untuk menjauhi ketamakan, dan mengutamakan
kebaikan bersama.
Bacaan Injil tadi mengisahkan kepada kita: suatu sengketa
pembagian warisan, yang ditanggapi oleh Yesus dengan peringatan tentang
ketamakan, dan dengan perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh. Di balik sengketa
ini, ada suatu latar belakang yang luhur dalam tradisi orang Israel. Mereka
mencita-citakan suatu kebaikan bersama. Tinggal bersama sebagai saudara di
tanah warisan nenek moyang mereka, tanpa membagikannya. Namun demikian, seorang
saudara berhak meminta bagian harta miliknya. Pembagian itu harus dilakukan
menurut ketentuan hukum Taurat. Kalau terjadi sengketa, mereka harus mencari
bantuan seorang ahli Taurat, yang dapat menyelesaikan masalah mereka, yang
menjadi hakim dan penengah bagi mereka. Maka, dengan mengatakan, “Siapakah yang
telah mengangkat Aku menjadi hakim dan penengah bagimu?”, Yesus bermaksud
menolak untuk berperan sebagai akhi Taurat yang berwenang memutuskan perkara
ini. Yesus memiliki misi pengajaran yang berbeda dengan ahli Taurat. Yesus
ingin mengungkapkan akar dari sengketa harta warisan ini, yaitu ketamakan.
Tuhan Yesus bersabda, “Berjaga-jaga dan waspadalah terhadap
segala ketamakan! Sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya
tidaklah tergantung dari kekayaannya itu.” Kebahagiaan hidup sebenarnya tidak tergantung
dari banyaknya harta milik yang dimiliki seseorang. Harta benda bukan jaminan
bagi kehidupan yang sejati, apalagi kehidupan yang kekal. Harta benda akan
berguna, bila digunakan untuk melayani sesama. Maka, Yesus meminta para
murid-Nya untuk melepaskan diri dari keterikatan akan harta duniawi, dan
memberikannya kepada orang miskin, agar mereka dapat memperoleh harta di surga.
Bahaya dari ketamakan ini dijelaskan oleh Yesus dalam Perumpamaan
tentang orang kaya yang bodoh. Dalam perumpamaan ini, Orang kaya itu hanya
memikirkan dirinya sendiri. Keinginannya tak lebih daripada menikmati hidupnya
dalam kemewahan, tanpa memperdulikan orang lain yang miskin dan menderita. Ia
menyangka, bahwa kenikmatan hidupnya dijamin oleh hartanya yang banyak itu. Kesalahannya
di sini bukan karena ia kaya, tetapi karena ia tamak dalam mempergunakan
kekayaaan, sehingga ia tidak memperdulikan sesama dan tidak mengutamakan
kebaikan bersama. Orang kaya yang mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri,
sesungguhnya tidak kaya di hadapan Allah. Ia tidak mengumpulkan harta di surga,
karena tidak menggunakana harta miliknya untuk kebaikan bersama.
Saudara-saudari terkasih, keselamatan hidup kita tidak tergantung kepada harta
kekayaan duniawi. Seberapa pun banyaknya harta kita, toh semuanya itu akan kita
tinggalkan untuk orang lain saat kita mati nanti. Maka, pesan Injil pada hari
ini mengajak kita semua untuk menjauhi ketamakan dan mengutamakan kebaikan
bersama. Janganlah tamak dan pelit kepada sesama. Kembangkanlah sikap berbagi
dan peduli dengan sesama. Tingkatkan karya amal, memberikan bantuan-bantuan
sosial kepada orang lain, dan derma kepada orang-orang yang miskin dan menderita.
Itulah caranya agar kita memperoleh harta di surga. Semoga dengan renungan hari
ini, kita dapat berubah menjadi orang yang peduli kepada sesama, bermurah hati
dan mau berbagi dengan sesama. Berkat Allah senantiasa menyertai kita semua.
Amin.
No comments:
Post a Comment